Jumat, 05 Februari 2010

Kopi Instan

DALAM zaman serba cepat sekarang ini, minum kopi juga dipercepat. Untung ada kopi instant, yang segera bisa diminum, setelah diseduh dengan air panas.

Zaman santai seperti waktu nenek moyang kita minum kopi sambil lesehan, mendengarkan burung perkutut dulu, kini agaknya sudah langka. Sayang sekali!

Saya masih ingat, bagaimana ibu saya dulu menyiapkan wedang (minuman panas) kopi dari koffiefilter, teko keramik, yang di atasnya ada penyaringnya berbentuk silinder. Semalam sebelumnya, ada sejumlah bubuk kopi yang dimasukkan ke dalam penyaring itu bersama air mendidih. Esok paginya, dalam teko itu sudah ada larutan sari kopi yang terkumpul, hasil penampungan tetesan kopi yang sudah melalui penyaring halus itu. Itulah yang kemudian diencerkan lagi dengan air hangat dan gula dalam cangkir, lalu dihidangkan kepada ayah yang sudah duduk menanti di meja makan, siap sarapan dan berangkat ke kantor.


Karena sari kopi itu diperoleh dengan meneteskan air melalui timbunan kopi bubuk yang ditahan penyaring, kopinya lalu disebut kopi tetes. Nikmatnya bukan main, karena yang kita minum adalah ekstrak kopi murni.

Pada hari Minggu dan hari besar, ngopi itu dilakukan lebih santai lagi. Tidak di meja makan yang formal, tetapi di serambi belakang yang menghadap ke kebun bunga. Sambil ngopi, ayah mendengarkan nyanyian burung perkutut dan tekukur.

Sudah berubah
Ketika saya sendiri menjadi pakné tolé (bapaknya anak-anak), acara minum kopi sudah tidak dengan perkutut lagi, tapi warta berita dari RRI, diselingi iklan radio swasta niaga dan musik dung-byeng-dung-byeng.

Kopi tetes tidak dibuat dengan koffiefilter keramik lagi, tapi dengan drip pot dari gelas pyrex tahan panas. Air mendidih yang mengekstrakkan kopi sejak malam sebelumnya, dan kini sudah terkumpul dalam wadah di bawah penyaring, dipanasi langsung dengan api kompor. Memang sudah lebih cepat, tapi karena dirasakan masih brengsek, ada yang kemudian mengekstrakkan kopi dengan coffeemaker saja yang lebih praktis. Bubuk kopi dicampur langsung dengan air dan gula dalam wadah gelas tahan panas (juga) dari coffeemaker itu, lalu dipanaskan di atas kookplat, yang merupakan bagian dari alat itu juga. Sewaktu bergolak karena mendidih, air ini mengekstrakkan sari kopi, sekaligus juga menyeduhnya. Tidak perlu satu malam seperti penyaringan kopi tetes, tapi beberapa menit saja.

Ini memang cocok dengan zaman serba cepat seperti sekarang ini, tapi hasilnya bukan ekstrak kopi tetes lagi, melainkan kopi tubruk (semacam kopi “tembak langsung”). Bubuk kopi dan gula diguyur langsung dengan air mendidih dalam cangkir, lalu diaduk sampai rata. Jelas ada sari kopi juga yang terperas ke luar dan larut dalam air mendidih itu, (dengan perkolasi, istilah teknisnya), tapi karena waktu yang diberikan cuma singkat, maka sari yang diekstrakkan juga kurang pekat. Bagian yang menyisa lebih banyak daripada yang diekstrakkan.
Kalau secangkir kopi ini dibiarkan mendingin, karena lazimnya wedang kopi memang tidak diminum waktu air masih kicat-kicat mendidih, maka permukaan air kopi itu turun dan meninggalkan sejumlah butiran kopi pada dinding cangkir bagian dalam.

Sewaktu air masih mendidih, permukaannya masih tinggi, tapi sesudah suhunya turun, permukaannya turun juga. Kopi itu seperti sudah diminum sebagian.

“Diminum roh leluhur,” komentar mbah saya yang tidak mau tahu tentang peristiwa air memuai dan menyusut, karena perbedaan suhu.

Kalau kita memakai kopi bubuk hasil penggilingan biji kopi (dulu malah bubuk hasil tumbukan dalam lumpang besi), maka di samping serbuk halus yang bisa larut dalam air panas dan bisa habis kita minum, masih lumayan banyaknya butiran kopi yang lebih kasar. Ini tidak mau larut, sehingga menyisa.

Dengan diciptakannya penggiling listrik yang dilengkapi penyaring halus, butiran kasar yang bisa menyisa ini maskin sedikit. Dengan diciptakannya kopi instant, sama sekali tidak ada kopi yang menyisa lagi, karena tidak ada butiran kasar yang nebeng.

Kok bisa?
Kopi instant dibuat pertama kali dulu, gara-gara ada permintaan dari pemerintah Brasil pada akhir tahun dua puluhan. Mereka kelebihan kopi yang tidak laku dijual dan terancam busuk. Ada yang dibakar, ada yang dipakai merebus air kepala kereta api dan ada yang dibuang ke laut begitu saja. Kementrian kopi lalu meminta kepada salah satu perusahaan bahan pangan di Swis, untuk mencari akal secara ilmiah, bagaimana caranya agar kopi bisa tahan lama disimpan, sebelum sampai ke konsumen, seperti coklat dan susu bubuk, misalnya. Kalau membuat susu bubuk instant bisa, tentunya kopi juga bisa.

Seorang pakar kimia, Max Rudolf Morgenthaler dari Nestlé, kemudian mencoba menerapkan proses pembubukan susu itu pada kopi di laboratorium mereka di Swis. Pada pembubukan susu bubuk, susu yang sudah dipasteurisasikan disemprotkan dalam ruangan yang dialiri udara panas. Udara ini menguapkan air dari larutan susu itu, lalu meninggalkan susnya sebagai bubuk. Memang gampang kelihatannya, tapi ketika cara itu diterapkan pada kopi, ternyata timbul masalah, berapa suhu yang diperlukan, agar kopi tidak gosong?

Sesudah berkali-kali gagal, akhirnya ditemukan suhu yang tidak mengganggu, yaitu 105°C. Nestlé berhasil membuat kopi bubuk awetan pertama kali, yang disebutnya nescafé. Dari Nestle dan café. Biji kopi yang akan diolah disortir dulu dan dicampur dengan hasil sortiran jenis kopi lain, untuk memperoleh kombinasi ramuan dengan rasa dan aroma tertentu yang khas keluaran pabrik pengolahan yang bersangkutan. Resep pencampuran ini merupakan rahasia perusahaan itu.

Sesudah disangrai dalam ketel raksasa, biji kopi kombi itu digiling untuk diekstrakkan sarinya dengan air. Hasilnya yang masih encer dipekatkan menjadi ekstrak kental, supaya lebih gampang diuapkan airnya, nanti.

Ekstrak kopi yang pekat ini disemprotkan dari tempat setinggi 30 m dalam ruangan tertutup, yang dialiri suhu panas sehingga menguapkan air yang dikandungnya dengan cepat sekali. Uap air ini lalu cepat-cepat disedot ke luar dari ruangan. Kopinya mengendap berupa bubuk yang sudah kering. Karena pengeringan dilakukan dengan penyemprotan, tekniknya disebut dengan pengeringan dengan penyemprotan.

Karena bagian bawah itu tidak dialiri udara panas, maka bubuk yang mengendap jelas mendingin lagi. Bubuk dingin ini jatuh di atas semacam saluran, tempat ia diperciki air lagi sedikit, supaya berubah menjadi granul yang lebih kasar butirannya. Maksudnya agar persis granulat kopi murni yang biasa jita beli sejauh ini. Kalau diseduh dengan air lagi, bubuk kopi kasar ini bisa langsung larut menjadi wedang kopi lagi. Karena segera bisa menjadi minuman yang siap pakai, kopi ini lalu diedarkan sebagai kopi instant.

Kopi beku instant
Cara kedua yang lebih canggih, mengeringkan kopi itu dengan pembekuan.
Ekstrak kopi pekat seperti yang dibuat pada pengeringan penyemprotan dibekukan dengan suhu minus hampir 40°C. Cairan itu membeku sebagai gumpalan keras, sehingga terpaksa digiling dan dikeringkan dalam ruangan pengering dingin. Dalam ruangan yang hampa udara ini, massa kopi dinaikkan suhunya pelan-pelan kembali selama empat jam. Maka, hablur esnya menyublim (berubah dari padatan langsung menjadi uap, tanpa menjadi cairan lebih dulu). Proses yang disebut pengeringan dengan pembekuan ini bisa lekas selesai, karena ruangannya dibuat hampa udara.

Sesudah airnya menguap, kopinya kembali menjadi butiran coklat keemasan lagi. Kalau nanti diseduh dengan air panas, hasilnya tidak berbeda dengan bubuk kopi yang ditubruk langsung dalam cangkir. Rasa, bau dan gizinya (berupa asam lemak, protein dan vitamin) masih utuh.
Tentu saja ia tidak meninggalkan sisa lagi dalam cangkir, karena sebelumnya memang sudah dijadikan larutan ekstrak (sari) kopi murni dulu, yang sudah disaring bagian-bagiannya yang kasar, seperti serabut, butiran kasar, kulit, dan lain-lainnya. Kemudian ia dihablurkan lagi menjadi kopi bubuk, sebelum diedarkan dalam botol kemasannya.

Untuk melayani penggemar kopi yang tidak suka menerima kafein terlalu banyak dalam tubuhnya, (padahal ia gemar minum kopi), pabrik kopi instant yang sama juga menyiapkan kopi yang sudah diambil kafeinnya. Biji kopi mentah diproses dalam steambath dulu, sehingga kafeinnya menguap sebagian. Kafein yang semula sepekat 5-10% bisa turun menjadi 3-6%. Memang tidak bisa hilang sama sekali. Sebab, kopi tanpa kafein sama juga dengan kopi bohong.

Kopi instant yang rendah kadar kafeinnya itu diedarkan sebagai decaffeinated coffee (bebas kafein), meskipun belum bebas sama sekali.

Oleh Slamet Soeseno – Majalah Bulanan Intisari No. 326

1 komentar:

  1. saya mahasiswi penggemar kopi, dan kebiasaan itu, menginspirai saya untuk melakukan penelitian tentang kopi.
    untuk melengkapi data saya tentang kopi bisakah posting tentang jumlah kafein pada setiap merek kopi.
    terimakasih

    BalasHapus

Silahkan para sahabat semua berbagi tentang pengalaman Anda terhadap produk kopi yang ada, dengan tanpa menyudutkan suatu produk lainnya yang mungkin kurang cocok dengan selera Anda.
Terimakasih untuk telah berbagi kepada sesama para pecinta kopi instan.